CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH MONTOK

CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH MONTOK


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH MONTOK, Hasrat-Bispak10 Semuanya orang didalamnya perlu berusaha serta berkorban supaya tak terdepak, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak hanya itu. Denok pula mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda ialah seseorang penari, serta sering ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang dikarenakan hilang ingatan judi, serta beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih sebab Bapak tidak ada, namun juga kebingungan karena sekian hari selesai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih broker judi yang memberinya hutang ke Bapak. Kami gak miliki lokasi tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, tandingan begitu banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama menyimak beragam peluang yang ada, Simbok menentukan untuk memakai keterampilan kami. Dengan modal kemeja serta peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun awal kuliah, serta yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak ringan  cari uang dengan sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Serta tidak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Seusai cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati seringkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok betul-betul menarik? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dahulu terus mengajarkan serta memperingatkan saya untuk menjaga badan walaupun secara simple, jadi meski sawo masak, kulit saya masih tetap mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich kalaupun di katakan saya montok. Tak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya jadi bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu takut dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  kuat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang kira demikian. Bingungnya, walau atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua ngomong saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah keren. Saya masa itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membikin suka yang melihat."


Lama-kelamaan saya biasa pula menggunakan dandanan begitu, justru saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya kuatir, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya semenjak ketabrak  Simbok tidak ada asa, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak dapat menggelar acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja lantaran begitu bersedih. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis dan saya pun harus temui banyak tukang tagih hutang yang tidak mau tahu persoalan saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang mempunyai sewaan. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak punyai uang, jadi saya cuman dapat ngomong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH MONTOK


Naasnya, hari itu pasar rada sepi, serta setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana triknya biar kelak bila pulang sudah punyai cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu cuman mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat dapat uang ini hari buat membayar kontrak. Bila berjualan, saya tidak punyai apapun, perlu jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Kalaupun kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, namun apa perlu melalui cara semacam ini? Tetapi kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, namun kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya terus kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Jika tak ingin ya udah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki terbuka ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu serta pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun tidak tahu mengapa, saya  kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus terusan lihat sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama